Permasalahan Perlindungan Konsumen serta Penyelesaian

KASUS PENIPUAN TRAVELLING


BEBERAPA waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan kasus penipuan berkedok biro perjalanan umrah yang terdaftar sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di Kementerian Agama, yaitu PT First Anugrah Karya Wisata.

Berawal dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang biro perjalanan wisata, PT First Karya Utama kemudian diubah namanya menjadi PT First Anugrah Karya Wisata, sekaligus diubah haluannya menjadi biro perjalan umrah dan sejak saat itu mulai terkenal. Bahkan di 2014 mendapat penghargaan Bussiness & Company Winner Award 2014 kategori The Most Trusted Tour & Travel sebagai bukti layanan prima.

Namun, tak lama berselang perusahaan tersebut dilaporkan kliennya dengan tuduhan penipuan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah uang yang didapat dari penipuan itu mencapai ratusan miliar rupiah. Belum genap sebulan, masyarakat dikejutkan lagi dengan dugaan kasus serupa pada PT Azizi Kencana Wisata atau PT Azizi Travel, yang juga berkedok biro perjalanan umrah. Menjadi hal sangat janggal, jika kasus-kasus seperti ini terus terjadi. Sebelum lebih banyak lagi pengaduan kasus serupa, perlu dikaji mengapa kasus seperti ini bisa terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegahnya.

Adalah hal yang wajar ketika konsumen tertarik berbagai penawaran suatu produk dengan harga murah, sebagaimana hukum permintaan berlaku. Terlebih ketika produk yang ditawarkan juga berkaitan dengan kegiatan yang mendukung ibadah suatu agama, sehingga sangat rasional jika masyarakat selaku konsumen akan berbondong-bondong untuk mendapatkan produk tersebut. Di samping itu, keadaan demikian merupakan peluang sangat menguntungkan untuk penjual. Pun menjadi hal wajar jika penjual mempromosikan produknya dengan menggembar-gemborkan keunggulannya. Lalu, dengan keadaan yang wajar tersebut bagaimana bisa berujung tindak kriminal yang merugikan salah satu pihak? Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini?

Menurut sudut pandang hukum, terjadinya penipuan terkait biro perjalanan merupakan kesalahan pihak yang menipu, dalam hal ini pemilik biro perjalanan. Dari sudut pandang bisnis, kasus demikian juga akan dianggap sebagai kesalahan perusahaan layanan biro perjalanan. Hal ini dikarenakan pihak biro perjalanan melanggar klaim yang telah dibuatnya. Dengan demikian bisa dikatakan pihak biro perjalan telah melanggar "kontrak" yang disepakatinya dengan konsumen.

Dalam bisnis, berdasarkan sudut pandang kontrak (contract view), transaksi atau kesepakatan jual beli merupakan suatu kontrak mengikat antara penjual dan pembeli. Bagi penjual untuk menyediakan barang atau produk sesuai dengan yang diklaimnya dan bagi pembeli membayar barang yang diinginkannya sesuai harga kesepakatan. Sehingga, ketika penjual telah jelas berdasarkan bukti yang nyata melanggar kesepakatan dengan pembeli, tentulah dia yang sepatutnya disalahkan. Namun perlu disadari, jika dikaji lebih jauh, terjadinya suatu tindak kejahatan tidak hanya dikarenakan niat pelaku, namun ada faktor lain yang turut berperan, yaitu kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut.

Dalam kasus penipuan berkedok biro perjalanan umrah, tentu konsumen selaku korban tidak memberi kesempatan bagi pihak biro untuk serta merta menipunya.
Namun, ada satu hal yang sering kali dilupakan konsumen, yaitu bagaimanapun kontrak yang telah disepakati, konsumen merupakan pihak yang lemah dalam hal informasi mengenai produk dibanding dengan penjual. Hal ini sebagaimana ingin ditunjukkan oleh penganut due care view. Penganut pandangan due care view menganggap sudah seharusnya konsumen diberi perlindungan lebih karena kelemahannya akan informasi, sehingga berbagai risiko merupakan tanggung jawab penjual, terlebih jika terjadi penipuan.

Mengetahui lebih banyak mengenai produk dibanding konsumen merupakan kelebihan yang dimiliki penjual dan hal ini dapat benar-benar dimanfaatkan penjual untuk memperoleh keuntungan. Sebagaimana konsumen yang rasional, penjual atau produsen pun akan selalu bertindak rasional, di mana ia akan selalu memaksimalkan keuntungannya. Terkait apakah tindakan nya etis atau tidak, hal tersebut jarang dijadikan pertimbangan utama produsen untuk bertindak. Hal ini bisa dilihat jelas dari berbagai fenomena pasar, terutama terkait iklan.

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan, hasilnya serupa, yaitu menyatakan sebenarnya iklan bersifat hiperbolis atau melebih-lebihkan. Padahal lewat iklan itulah konsumen mengetahui informasi tentang produk, sehingga hal ini semakin jelas menunjukkan konsumen memang memiliki pengetahuan yang lebih rendah dibanding produsen.

Konsumen memiliki hak menuntut produsen dengan dasar perlindungan terhadap konsumen. Dengan bukti-bukti nyata yang menunjukkan kesalahan produsen, tuntutan konsumen dapat dikabulkan. Namun, jika kejadian seperti kasus penipuan berkedok biro perjalanan tersebut telah terjadi, apa yang bisa dilakukan konsumen, meskipun telah ada perlindungan terhadap konsumen dan pelaku telah diberikan hukuman? Bagaimanapun konsumen tetaplah pihak yang menerima kerugian.

Karena itu, masyarakat sebagai konsumen seharusnya lebih berhati-hati dan teliti dalam memilih setiap produk yang akan dikonsumsinya. Juga sudah seharusnya konsumen menyadari kelemahannya atas informasi tentang produk yang akan dikonsumsi. Jika terdapat kesadaran tinggi akan adanya asimetri informasi yang bisa menyebabkan kerugian untuk diri sendiri, tentu hal ini secara langsung akan meningkatkan kewaspadaan konsumen.

Hal itu penting karena setiap pihak dalam perekonomian pasti memiliki motif masing-masing, sehingga hanya mengandalkan pada informasi yang diberikan oleh pihak lain merupakan hal yang sangat berisiko. Juga, ketidakpekaan konsumen atas risiko yang mungkin menimpanya bisa jadi ladang bagi produsen untuk mengambil keuntungan secara tidak etis, seperti kasus penipuan biro perjalan tersebut. (Amrina Bastian Rahmah)


PENYELESAIAN MASALAH :

Pada dasarnya penyedia jasa travel (perjalanan)haji/umrah diatur dalamUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (“UU 13/2008”)sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 (“Perpu 2/2009”)yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang nomor 34 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang (“UU 34/2009”).

Penyedia jasa travel (perjalanan)haji/biro perjalanan haji dikenal sebagai penyelenggara ibadah haji khusus sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2008, yakni pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus. Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara ibadah haji khusus yaitu (Pasal 40 UU Perpu 2/2009):

a. menerima pendaftaran dan melayani jemaah haji khusus yang telah terdaftar sebagai jemaah haji
b. memberikan bimbingan ibadah haji
c. memberikan layanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan, melayani jemaah haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah haji."

Berdasarkan Pasal 64 ayat (1)UU 13/3008, sanksi bagi penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan penyedia jasa travel (perjalanan)umrah/biro perjalanan umrah dikenal sebagaipenyelenggara perjalanan ibadah umrahsebagaimana disebut dalam Pasal 43 ayat (2)UU 13/2008, yakni dilakukan oleh pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh menteri. Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara perjalanan ibadah umrah yaitu (Pasal 45 ayat (1)UU 13/2008):

a. menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan
b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan
c. memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan
d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.

Berdasarkan Pasal 64 ayat (2)UU 13/2008,penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 45 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Mengacu pada kasus penipuan travel, apabila penyelenggara perjalanan ibadah haji/umroh tersebut tidak memberikan pelayanan kepada jemaah haji/umroh terkait keberangkatan padahal telah terdapat perjanjian tertulis yang disepakati, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh calon jemaah haji/umrah yang dirugikan adalah dengan melaporkannya kepada pihak berwenang atas dasar pelanggaran pasal-pasal dalam UU 13/2008.

Referensi :
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/11/04/325076/produsen_konsumen_dan_penipuan/
http://www.aliston.co.id/news/langkah-hukum-jika-ditipu-travel-umrah-dan-haji-khusus.html

Komentar

Postingan Populer